Sejarah Singkat Berdirinya Lembaga Kerjasama Ekonomi, Sosial dan Budaya Indonesia – Tiongkok (Lembaga Indonesia – Tiongkok)
Sukamdani masih ingat benar bahwa dirinya sendirilah yang mempunyai inisiatif untuk membuka kembali hubungan dagang langsung antara dunia Indonesia dan Tiongkok yang telah terputus sejak dibekukannya hubungan diplomatik antara Indonesia dan Tiongkok pada tahun 1967 akibat tragedi Gerakan 30 September. Ia telah memberanikan dirinya untuk menyampaikan inisiatifnya kepada Presiden Soeharto di Cendana pada akhir Agustus 1984, tetapi Presiden sama sekali tidak bergerak fikiran dan hatinya.
Sukamdani masih ingat benar bahwa dirinyalah yang mempunyai inisiatif untuk membuka kembali hubungan dagang langsung antara dunia Indonesia dan Tiongkok yang telah terputus sejak ditutupnya hubungan persahabatan antara Indonesia dan Tiongkok pada tahun 1967 akibat tragedi Gerakan 30 September.
Ia telah memberanikan dirinya untuk menyampaikan inisiatifnya kepada Presiden Soeharto di Cendana pada akhir Agustus 1984, namun Presiden sama sekali tidak menggerakkan fikiran dan hatinya.
Sebulan kemudian ketika diterima lagi oleh Presiden, Sukamdani mencoba mengemukakan gagasannya lagi, tetapi saat itu Presiden menyebut soal Gerakan 30 September 1965 yang melahirkan enam Jenderal TNI. Rupanya Presiden masih merasa trauma terhadap peristiwa pemberontakan Partai Komunis Indonesia itu.
Terkesan sekali tidak mudah bagi Presiden Soeharto untuk menanggapi prakarsa Sukamdani, karena fihak yang terlebih dahulu membekukan hubungan diplomatik Indonesia – Tiongkok pada tahun 1967 adalah Pemerintah Indonesia di bawah pimpinan Presiden Soeharto sendiri.
Pada tanggal 8 November 1984 ketika menghadap Presiden lagi, barulah Presiden Soeharto memutuskan menyetujui gagasan Sukamdani.
Dalam pertemuan ketiga itu Sukamdani memberikan penjelasan tentang gagasannya secara lebih rinci berdasarkan apa yang telah dilihatnya sendiri terutama ketika mengadakan kunjungan dagang di Taiwan pada akhir Agustus 1984.
Disetujuinya gagasan Sukamdani oleh Presiden Soeharto dan keberhasilannya dalam melaksanakan gagasan itu menyebabkan para tokoh politik pemerintah dan kalangan dunia usaha dari Indonesia dan Tiongkok berkomentar bahwa Sukamdani adalah seorang juru runding (negosiator) yang berpandangan jauh ke depan.
Meskipun telah mendapat lampu hijau dari Soeharto yang saat itu juga Mandataris MPR dan penguasa tertinggi itu, Sukamdani masih menghadapi banyak kendala karena ada kalangan pemerintahan yang menghalangi pemulihan merek dengan Beijing.
Tetapi Sukamdani dapat mengatasi semua rintangan sehingga terwujud MOU 5 Juli 1985. Itulah sebabnya Sukamdani sekarang merasa lega setelah berhasil mewujudkan MOU 5 Juli. Pada tanggal 18 Juli 1985 Pemerintah RRT melalui Kementerian Hubungan Ekonomi dan Perdagangan Luar Negeri (MOFERT) Wei Yuming mengirimkan surat kepada CCPIT menyatakan persetujuannya atas MOU 5 Juli 1985.
Pada tanggal 23 Juli 1985 Presiden Soeharto mengeluarkan Instruksi Presiden RI Nomor 9 Tahun 1985 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Hubungan Dagang Langsung. Pada tanggal 27 Juli sampai 4 Agustus 1985 Delegasi KADIN Indonesia pimpinan Sukamdani terdiri dari sekitar 110 pengusaha yang daftarnya telah disetujui oleh Menteri Muda/Sekretaris Kabinet Moerdiono selaku Koordinator Hubungan Dagang Langsung berangkat ke Tiongkok.
Sejak itu pertukaran kunjungan pedagang dari kedua fihak semakin membesar.
Pada bulan Juni 1988 dalam kunjungannya ke RRT Sukamdani bertemu lagi dengan Wu Xueqian, Menteri Luar Negeri yang sekarang sudah menjadi Wakil Perdana Menteri Bidang Politik dan Luar Negeri.
Dalam pertemuan itu Sukamdani mendapat penjelasan dari Wu Xueqian bahwa kalau Indonesia menganggap saatnya sudah matang untuk memulihkan hubungan diplomatik di fihak RRT tak ada masalah.
Pada tanggal 1 - 4 Juli 1990 Sukamdani diminta oleh Menteri Sekretaris Negara Moerdiono dan Menteri Luar Negeri Ali Alatas untuk menjadi anggota Delegasi Pemerintah RI ke RRT.
Hari penting bagi Sukamdani selain tanggal 5 Juli 1985, adalah tanggal 8 Agustus 1990, yaitu hari pada saat hubungan koneksi RI-RRT menyampaikan pesan kembali.
Jembatan Sukamdani menjadi dan pintu masuk pertukaran kunjungan pertamaSetelah normalisasi hubungan diplomatik bulan Agustus tahun 1990 nama Sukamdani yang sudah mulai dikenal di Tiongkok sejak 5 Juli 1985 menjadi semakin dikenal secara lebih luas lagi, karena para warga Tiongkok yang datang berkunjung ke Indonesia jumlahnya semakin hari semakin banyak.
Jika selama 5 tahun periode hubungan dagang langsung 1985 – 1990 yang berkunjung hanya para saudagar dan para anggota asosiasi perusahaan dan rombongan Pameran Pameran Dagang yang direkomendasikan oleh CCPIT yaitu organisasi mitra dari KADIN, maka sesudah normalisasi datang pula kunjungan rombongan-rombongan resmi pemerintah, rombongan- rombongan kesenian, kebudayaan, pendidikan, sosial, keagamaan, olahraga dsb.
Para pejabat Pemerintah dan Kenegaraan dari Tiongkok yang berkunjung ke Indonesia dan dari Indonesia yang mengadakan kunjungan ke Tiongkok diurus oleh Kedutaan Besar dari masing-masing negara.
Tetapi rombongan-rombongan pengunjung yang terdiri dari wakil-wakil dari perusahaan negara, asosiasi-asosiasi perusahaan, lembaga-lembaga pendidikan, para penyelenggara pertunjukan, kesenian, organisasi pemuda, jurnalis, delegasi dari pemerintah Kota, Pemerintah Propinsi dan berbagai organisasi kemasyarakatan non-pemerintah lainnya pada umumnya lebih dulu menggunakan Sukamdani sebagai jembatan pintu masuk Indonesia.
Semenjak MOU Pembukaan Kembali Hubungan Dagang Langsung 5 Juli 1985 semua rombongan pedagang dari Tiongkok yang direkomendasikan oleh CCPIT (counterpart KADIN) untuk berkunjung ke Indonesia harus mendapat persetujuan dari KADIN dan begitu pula sebaliknya. Bahkan semua Duta besar RRT untuk Indonesia yang berwenang mengatur kunjungan para pejabat Pemerintah Tiongkok ke Indonesia dalam tahun sembilanpuluhan sering melibatkan Sukamdani yang sejak tahun 1992 mendirikan dan memimpin Lembaga Kerjasama Ekonomi, Sosial dan Budaya Indonesia – Tiongkok atau biasa disebut Lembaga Indonesia – Tiongkok / LIC.
LIC adalah sebuah Organisasi Kemasyarakatan berdasarkan ketentuan Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan dan Peraturan Pelaksanaannya, dengan Surat Keterangan Terdaftar Nomor: 102 Tahun 1999 DIV dari Bidang Dalam Negeri Republik Indonesia Cq Direktorat Jenderal Sosial Politik.
Lembaga ini bersifat Non-Government (NGO), Non-Politik, Non-Partisan dan Non-Profit dan berasaskan Pancasila.
Ruang lingkup lembaga ini bersifat bilateral, khusus antara dua negara, yaitu Indonesia dan Tiongkok, tidak termasuk negara-negara lainnya. Adapun yang dimaksud dengan Tiongkok adalah Republik Rakyat Tiongkok, Republik Rakyat Tiongkok, sesuai dengan kebijakan Pemerintah Indonesia yang hanya mengakui satu Tiongkok yaitu RRT dengan ibukotanya Beijing.
Fungsi utama dari Lembaga ini adalah kerjasama (kerja sama) antara pihak Indonesia dan Tiongkok di bidang ekonomi, sosial dan budaya.
Tujuan pokok LIC adalah:
- Membantu pemerintah dalam meningkatkan, memelihara dan mempererat hubungan persahabatan dan kerjasama antara Indonesia dan Tiongkok di bidang ekonomi dan sosial-budaya, baik dalam lingkup bilateral antara RI dan RRT melalui organisasi Lembaga Indonesia – Tiongkok dengan CPAFFC (Chinese People's Association for Friendship with Foreign Countries) maupun dalam lingkup multilateral melalui organisasi Persahabatan Rakyat-dengan-Rakyat Tiongkok-ASEAN (China – ASEAN Association).
- Menggalang persatuan di antara para anggotanya yang terdiri dari warga negara Indonesia yang berasal dari berbagai keturunan etnis.
Sepanjang sejarah berdirinya Lembaga ini, telah menjalani periode kepengurusan sebanyak 6 kali :
LIC juga telah banyak menjamu beberapa pemimpin dari Tiongkok yang berkunjung ke Indonesia, seperti Ketua Kongres Rakyat Nasional Tiongkok, Mr. Wu Bang Guo pada tahun 2010, Perdana Menteri RRT Wen Jiabao pada tahun 2011 dll.
Selanjutnya bahwa dengan adanya Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2014 tentang Pencabutan Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera Nomor SE-06/Pred.Kab/6/1967 tanggal 28 Juni 1967. Melalui keppres itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengganti istilah "Cina" dengan "Tionghoa ". Maka Lembaga juga menyesuaikan namanya dengan mengubah kata Cina dalam nama Indonesia menjadi Tiongkok.